nikel indonesia
Pertambangan

Cina borong nikel Indonesia, genjot pabrik baterai listrik

Peningkatan ekspor produk turunan nikel Indonesia yaitu feronikel ke Cina disebut oleh pengamat terjadi karena negara ini ingin mengamankan pasokan komoditas tersebut. Langkah ini dilakukan Cina karena nikel merupakan bahan baku masa depan untuk pengembangan baterai mobil listrik. 

Sebagai catatan, feronikel merupakan bahan baku untuk kebutuhan industri, diantaranya: baja tahan karat (stainless steel), baterai, dan elektronik. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Oktober 2020 nilai ekspor ferro alloy nickel mencapai AS$474 juta. Jumlah ini naik 59,62 persen dibanding periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy).

Data yang sama menunjukkan, secara kumulatif Januari sampai Oktober 2020, nilai ekspor feronikel ini sebesar AS$3,5 miliar. Angka ini naik 112,62 persen yoy. 

Direktur Eksekutif Institute for Developments of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, memperkirakan meski di tengah pandemi Covid-19, permintaan nikel dari Cina tetap tinggi karena negara tersebut ingin mengamankan pasokan komoditas ini untuk jangka panjang. 

“Cina tahu bahwa salah satu faktor yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain adalah bahan baku. Dan mereka sudah melihat bahwa Indonesia adalah salah satu supplier terbesar untuk bahan baku feronikel ini. Mereka akan stok banyak untuk jangka waktu yang lama agar industrinya tetap bisa bersaing,” kata Tauhid kepada Lokadata.id, Rabu (18/11/2020) siang. 

Sebagai catatan, Indonesia memang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Menurut data United States Geological Survey (USGS), pada 2019, Indonesia memproduksi bijih nikel 800 ribu ton per tahun dengan cadangan sebesar 21 juta ton. 

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat beberapa perusahaan besar pengolah nikel di Indonesia. Di antaranya: Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dengan market share 50 persen, PT Vale Indonesia 22 persen, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) 11 persen, Harita Group 6 persen, PT Aneka Tambang Tbk 5 persen, dan perusahaan lainnya 6 persen. 

Beberapa perusahan tersebut tercatat menerima investasi dari Cina. IMIP misalnya merupakan proyek kongsi swasta Cina- Indonesia dengan pemegang saham, diantaranya: Shanghai Dencent Investment Group (49,69 persen); Sulawesi Mining Investment (SMI, 25 persen), dan Bintangdelapan Group (25,31 persen). Kemudian, VDNI yang berinvestasi AS$1,4 miliar atau sekitar Rp19,6 triliun di smelter Konawe, Sulawesi Utara. 

Menurut Tauhid, dengan Cina berinvestasi tersebut, negara ini seperti memperoleh “jaminan” akan terus mendapatkan bahan baku nikel dan produk turunannya. “Jaminan sifatnya jangka panjang. Mungkin di atas 20 tahun. Investasinya kalau tidak dilakukan akan kesulitan bahan baku,” imbuhnya. 

Direktur Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian, Ignatius Warsito, sempat mengatakan, nilai ekspor IMIP pada 2019 mencapai AS$6,6 miliar atau sekitar Rp 95,7 triliun. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar AS$5,85 miliar atau Rp84,8 triliun. 

Sementara Antam mencatat, produksi feronikel pada kuartal III/2020 mencapai 6.371 ton (unaudited) atau naik 6 persen yoy. Sementara volume penjualan feronikel mencapai 6.462 ton. 

Secara akumulasi Januari sampai September 2020, menurut Antam, volume produksi dan penjualan masing-masing mencapai 19.133 ton dan 19.507 ton. 

Ambisi mobil listrik

Tauhid Ahmad menyebut, Cina melakukan sejumlah langkah untuk memiliki nikel ini dilakukan karena komoditas ini merupakan “masa depan” lantaran dibutuhkan untuk pengembangan baterai mobil listrik. Menurutnya, mobil dengan bahan bakar akan semakin ditinggalkan. 

“Cina membaca kebijakan di negara Uni Eropa dan AS bahwa ke depan otomotif berbasis bahan bakar fuel itu akan semakin dikurang. Jadi sudah membaca bahwa ini pasarnya luar biasa besar. Di Cina sendiri kan lima tahun terakhir penggunaan -mobil listrik ini sudah berkembang,” katanya. 

Karena itu Tauhid menyatakan, ekspor nikel dan produk turunannya seperti feronikel akan semakin meningkat, setidaknya 20 tahun ke depan.

Sebagai informasi, produsen baterai untuk mobil listrik di level global hanya dikuasai oleh segelintir perusahaan. Pada kuartal I/2020, market share terbesar dikuasai oleh LG Chem Korea Selatan mencapai 27 persen. Kemudian, Panasonic (Jepang, 26 persen); CATL (Cina, 17 persen), Samsung SDI (Korea Selatan, 6 persen), AESC (Cina, 6 persen), dan BYD (Cina, 15 persen). 

Menurut laporan McKinsey, Cina merupakan pasar mobil listrik terbesar di dunia, dengan penjualan mencapai 1,2 juta pada 2019. McKinsey menaksir, penjualan mobil listrik Cina akan meningkat sekitar 2,4 juta sampai 3,5 juta pada 2020. Selain itu, market share juga akan naik dari 5 persen mencapai 11 persen sampai 14 persen. 

Laporan yang sama menyebut, di tahun yang sama, penjualan mobil di Eropa hanya mencapai 600.000 unit, namun diperkirakan akan meningkat menjadi 2 juta sampai 2,9 juta unit pada 2022. Pangsa pasar juga mengalami kenaikan dari 3 persen menuju 7 persen. 

McKinsey juga mengatakan, penjualan mobil listrik di Amerika Serikat pada tahun lalu mencapai 300.000 unit dan ditaksir akan naik menjadi 400.000 unit sampai 1 juta unit. Sementara pangsa pasar juga diprediksi akan naik dari 3 persen menjadi 6 persen. 

Menurut Tauhid Ahmad, baik Eropa dan AS kedepannya juga akan berambisi untuk bermain di pasar mobil listrik. Untuk Eropa, lanjutnya, hal ini karena ada target pengurangan emisi dari bahan bakar. Sementara bagi AS, boleh jadi karena kemenangan Joe Biden dalam Pemilu Presiden.

Sumber: Lokadata.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *