Pulau-pulau kecil dan pesisir di Maluku Utara kian terancam oleh aktivitas pertambangan maupun industri ekstratif lainnya.
Hal tersebut disampaikan aktivis Barisan Konsolidasi Hari Anti Tambang, Adlun Fikri, usai menggelar aksi tutup mulut di depan Kantor PT Antam Cabang Ternate, Ternate Utara, Rabu (29/5).
“Kita ini wilayah kepulauan yang memiliki 395 pulau besar serta kecil, dengan luasan daratan sebesar 3,1 juta hektar. Ada 313 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai lebih dari 1 juta hektar,” ujar Adlun.
Adlun bilang, aktivitas tambang itu berada di pulau besar seperti Halmahera dan pulau-pulau kecil, mulai dari Pulau Pakal, Mabuli, dan Gee di Kabupaten Halmahera Timur, Pulau Gebe di Halmahera Tengah, dan Pulau Obi di Halmahera Selatan.
Selain izin pertambangan, diakui Adlun, industri kelapa sawit juga terdapat di Gane, Halmahera Selatan, yaitu PT. Korindo melalui anak usahanya PT. GMM.
“Dan di Patani itu ada PT. MRS, Halmahera Tengah, Hak Penguasaan Hutan (HPH) di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Halmahera Selatan serta Pulau Obi, juga Hutan Tanaman Industri,” paparnya.
Menurut dia, keberadaan tambang dan sawit telah berdampak buruk bagi masyarakat serta lingkungan di Maluku Utara, seperti perampasan lahan, pencemaran air, hilangnya wilayah tangkapan nelayan, kriminalisasi dan intimidasi, termasuk juga kerusakan hutan.
“Pulau-pulau yang ditempati warga seperti Pulau Gebe, Pulau Obi, Pulau Taliabu, Pulau Halmahera, serta pulau tak berpenghuni lainnya yang keberadaannya sangat bermanfaat bagi persinggahan dan wilayah tangkapan nelayan, terancam akibat dari eksploitasi industri,” jelasnya.
Ia mengatakan, pemerintah pusat maupun daerah, semestinya menghentikan aktivitas tambang dan mencabut seluruh izin pertambangan, sawit, dan industri kehutanan yang telah menghancurkan ruang hidup warga.
“Pemerintah wajib mendukung kemandirian masyarakat pesisir dan pulau melalui penyelamatan lahan, air, hutan, dan laut, termasuk juga segera mengeluarkan produk hukum dan kebijakan yang melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil,” ucapnya.
Aksi yang diikuti sekitar puluhan aktivis dari sejumlah organisasi itu, ditambahkan Adlun, digelar di Kantor PT Antam, sebab selama ini perusahaan tersebut, menurutnya, paling banyak beraktivitas serta turut memberikan dampak ekologi di wilayah Maluku Utara.
“Alasan kami aksi di sini karena beberapa perusahaan PT. Antam yang menambang sejumlah pulau di Maluku Utara,” pungkasnya.
Hal senada disampaikan Koordinator Barisan Konsolidasi Hari Anti Tambang, Rudhy Pravda, saat ditemui sehari sebelum aksi digelar, di Taman Soe Hoek Gie, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unkhair, usai melakukan dialog Hari Anti Tambang.
Rudhy bilang, banyak izin perusahaan yang beroperasi di Maluku Utara tidak melibatkan warga. “Ada beberapa industri ekstratif itu masuk tanpa sosialisasi, bahkan tidak melibatkan mayoritas warga,” ujar Rudhy.
Ia mengatakan, aktivitas pertambangan itu kerap masuk serta menguasai wilayah hutan adat warga. “Dari ratusan izin tambang ada yang mencaplok wilayah adat,” tutupnya.