Perusahaan tambang dan hilirisasi terintegrasi, HARITA Nickel melalui unit bisnisnya Halmahera Persada Lygend (HPL) telah mengoperasikan lini produksi kedua di Pulau Obi, Halmahera Selatan (Halsel), Maluku Utara (Malut).
Head of External Relation HARITA Nickel Stevi Thomas melalui siaran pers, diterima Antara, Sabtu, mengatakan, lini produksi pertama HPL yang telah diresmikan pada Juni 2021 telah beroperasi dengan baik dan menjadi produksi ekspor andalan Indonesia, termasuk Malut.
“Sebanyak 5.300 ton MHP hasil pemurnian bijih nikel kadar rendah berhasil kami kapalkan pada akhir Juni 2021. Ini menjadi kebanggaan kita semua, khususnya Halsel dan Malut sebagai daerah yang pertama kali memproduksi dan mengekspor bahan baku baterai kendaraan listrik. Apa yang telah dilakukan HARITA melalui HPL telah menghasilkan devisa serta memberi nilai tambah yang berlipat ganda terhadap komoditas tambang di Indonesia,” ujarnya.
Lini produksi kedua ini dapat meningkatkan kapasitas produksi HPL menjadi 250 ribu ton per tahun campuran padatan hidroksida dari nikel dan kobalt (mixed hydroxide precipitate-MHP), sebab, lini produksi yang kedua HPL masih merupakan bagian dari fase pertama operasional.
Rencannya pada kuartal kedua 2022, proyek lanjutan berupa pabrik nikel sulfat akan selesai dan dapat memproduksi nikel sulfat dan kobalt sulfat. Produk-produk ini merupakan bahan baku yang digunakan untuk baterai kendaraan listrik.
Stevi mengemukakan, hingga akhir November 2021, HPL telah mengekspor 60 ribu ton MHP. Ekspor MHP ini berdampak langsung pada peningkatan nilai ekspor Malut yang selama ini mengandalkan hasil pengolahan biji nikel menjadi besi nikel (ferronickel) melalui pabrik peleburan (smelter).
HPL juga memiliki komitmen tinggi pada kesehatan dan keselamatan kerja serta lingkungan (K3L). Hal ini dibuktikan dengan nol kematian akibat kerja (Zero Fatality) selama masa konstruksi dan operasional pabrik. Di sisi lingkungan, Stevi Thomas menegaskan, HPL selalu melakukan pemantauan berkala (sampling) guna memastikan operasional sesuai dengan AMDAL dan peraturan pemerintah yang berlaku.
Sebelumnya, Deputi Kepala Perwakilan BI Malut, Hario Kartiko Pamungkas, dalam pertemuan tahunan mengungkapkan bahwa industri hilirisasi di Malut mendominasi komoditas ekspor selama 2021. Produk hilirisasi berupa feronikel dan nikel oksida memiliki porsi terbesar, dengan jumlah masing-masing 93,42 persen dan 4,60 persen. Angka tersebut menjadi salah satu faktor kunci pertumbuhan ekonomi Malut yang mencatatkan nilai positif.
“Provinsi Malut mencatatkan pertumbuhan ekonomi kedua terbesar di Indonesia pada triwulan III 2021 yakni sebesar 11,41 persen. Angka tersebut berada di bawah Provinsi Papua yang tercatat 14,54 persen dan diatas Sulawesi Tengah 10,21 persejn,” katanya.
Hario juga menjelaskan bahwa capaian tersebut tidak terlepas dari perkembangan industri smelter dan pemurnian nikel di Halsel, yaitu perusahaan yang tergabung dalam HARITA Nickel yang memproduksi feronikel dan MHP. Menurutnya, perusahaan tersebut berkontribusi meningkatkan perekonomian Provinsi Malut.
Dia berharap dengan beroperasinya lini produksi kedua ini ekonomi Malut akan terus meningkat dan berdampak pada neraca perdagangan nasional yang semakin positif. Selain itu, penyerapan tenaga kerja juga semakin bertambah dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi regional, baik Halsel maupun Malut.
Pewarta: Abdul Fatah
Editor: Lexy Sariwating
Sumber: AntaraNews